Labuan Bajo, NTTUpdate.com – Perubahan status Sertifikat Hak Milik (SHM) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas obyek tanah yang sedang bersengketa telah memicu sorotan tajam terhadap kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) Manggarai Barat. Keluarga ahli waris almarhum Ibrahim Hanta, yang terus berjuang mempertahankan hak atas tanah warisan mereka, merasa dikhianati oleh tindakan BPN Manggarai Barat di bawah kepemimpinan Gatot Suyanto.
BPN Manggarai Barat diduga ikut terlibat dalam skandal mafia tanah, pasalnya mereka dengan sengaja mengubah status tanah sengketa dari SHM menjadi SHGB pada Desember 2023. Padahal, tanah tersebut masih dalam proses hukum dan seharusnya diblokir untuk mencegah perubahan status hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Indra Triantoro, S.H., M.H selaku kuasa hukum ahli waris Ibrahim Hanta kepada media ini menjelaskan bahwa status tanah sengketa tersebut terdaftar sebagai Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 02549 atas nama Maria Fatmawati Naput yang diterbitkan pada 31 Januari 2017 lalu yang hingga saat ini juga pihak tergugat dan BPN Manggarai Barat belum mampu menunjukan bukti warkah penyerahan adat tanggal 2 Mei tahun 1990. Naasnya saat ini pihak penggugat kaget dengan munculnya fakta baru bahwa ditemukan adanya dokumen perubahan status SHM dari pihak tergugat menjadi SHGB.
“Status SHM tanah tersebut sudah berubah menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 00176 tertanggal 20 Desember 2023. Sementara sebelum ada perubahan status SHM menjadi SHGB obyek sengketa tersebut, pihak penggugat telah mengajukan permohonan pemblokiran ke BPN Manggarai Barat pada 29 September 2022,” jelas Indra
Upaya pemblokiran ini dilakukan untuk mencegah adanya perubahan status atau penambahan pihak lain yang terlibat dalam sengketa tanah hingga proses hukum selesai.
Pemblokiran ini berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP/B/240/IX/2022/Polres Manggarai Barat yang dilaporkan pada 13 September 2022 dan sampai saat ini belum ada SP3.
“Sebelumnya kita sudah pernah lakukan upaya hukum dengan gugatan secara perdata dan pidana atas obyek tanah sengketa tersebut. Namun kemarin kita mendapatkan informasi terbaru dari klien kami bahwa ada dokumen status SHM yang pada saat berperkara pidana dan perdata itu muncul lagi SHGB pada obyek yang sama,” jelasnya
Pihak keluarga ahli waris sangat kecewa karena seharusnya pihak BPN lebih terang benderang untuk menjelaskan terkait status tanah sengketa tersebut apalagi sudah pernah lakukan komplain ke BPN bahkan sudah beberapa kali melakukan aksi demonstrasi dan juga menyurati secara resmi untuk lakukan pemblokiran.
“Seharusnya surat tanda terima itu, pihak BPN melakukan pemblokiran dan pencatatan. Lebih jelasnya begini, kalau ada gugatan perdata seharusanya secara otomatis di blokir terlebih dahulu karena BPN Manggarai Barat turut sebagai tergugat. Jadi klien kami juga melakukan pemblokiran secara tertulis dan bukti tanda terimanya itu ada. Jadi pemblokiran itu harus dilakukan dan harus dicatat maka pengalihan-pengalihan hak itu akan terhenti juga hingga putusan ingkrah di pengadilan,” ungkap Indra
Ia mengatakan, karena ini tidak dilakukan oleh pihak BPN Manggarai Barat maka kuat dugaan adanya persekongkolan jahat terhadap obyek sengketa seperti mafia tanah yang lagi marak terjadi di Indonesia.
“Dengan adanya perubahan status obyek sengketa dari SHM menjadi SHGB oleh BPN Manggarai Barat ini maka kami sangat keberatan dan ini akan diusut tuntas yang dimana disini adanya penyalahgunaan wewenang. Disana sudah sangat jelas, BPN Manggarai Barat sudah mengetahui sedang dalam perkara tetapi mereka tetap berani melakukan pengalihan status SHM menjadi SHGB. Dari fakta hukum, disini sudah sangat jelas adanya penyalahgunaan wewenang,” kata Indra
Dijelaskan Indra bahwa Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 junto UI nomor 20 tahun 2001 tentang tindakan pidana korupsi itu sudah sangat jelas terkait penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
“Karena adanya sengketa, maka pejabat negara yang menandatangani dokumen pengalihan SHM menjadi SHGB itu harus diusut tuntas apalagi ini kuat dugaan kami bahwa oknum pejabat BPN Manggarai Barat menerima gratifikasi. Selain itu dengan adanya sengketa secara pidanapun di KUHP sangat jelas adanya pemalsuan dokumen. Inikan masih diuji, masih ada permasalahan hukum kenapa pihak BPN masih berani mengubah status SHM menjadi SHGB pada obyek sengketa yang sedang diuji dan belum ada keputusan ingkrah dari pengadilan,” tegasnya
Ia menambahkan bahwa dengan adanya pengalihan SHM menjadi SHGB juga sangat jelas pada pasal 374 KUHP itu adanya penggelapan hak. Gatot Suyanto bisa kena ancaman pidana 5 tahun penjara.
“Seharusnya ini masih diuji pemilik SHM dan pemilik obyek sengketa yang dari tahun 1973 hingga sekarang masih menguasai lahan tersebut secara fakta namun masih dikalim oleh pihak lain maka disitu ada unsur pidfanyan yaitu penggelapan. Jadi secara keseluruhan ada unsur pidananya terkait adanya penggelapan, pemalsuan dokumen, dugaan tindakan pidana korupsi yaitu adanya gratifikasi, oleh sebab itu kami selaku kuasa hukum meminta kepada Bapak Presiden khususnya kepada Menteri ATR/BPN RI untuk mengusut tuntas kasus mafia tanah ini,” kata Indra
Ketika dimintai keterangan terkait perubahan status SHM menjadi SHGB, Kepala BPN Manggarai Barat, Gatot Suyanto, hanya mengelak dengan dalih bahwa prosedurnya terlalu panjang dan rumit untuk dijelaskan.
“Terkait itu kami tidak bisa memberikan tanggapan apapun, karena itu prosedurnya panjang. Kami tidak bisa jelaskan secara detail,” kata Gatot
Indra menegaskan bahwa tindakan BPN ini jelas melanggar prosedur dan merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. BPN seharusnya menghentikan segala bentuk perubahan hak atas tanah yang sedang bersengketa, namun tampaknya BPN lebih memilih melindungi kepentingan pihak tertentu yang diduga kuat berafiliasi dengan mafia tanah.
Cermin Buruknya Administrasi di BPN Mabar, Warga Bisa Dapat SHM tanpa Alas Hak Tanah, Mau daftar?
Florianus Surion Adu salah satu tokoh masyarakat Ulayat Nggorang mengatakan bahwa kasus penerbitan sertifikat tanah tanpa alas hak dan perubahan SHM menjadi SHGB atas obyek yang bersengketa yang dilakukan oleh BPN Manggarai Barat semakin memperburuk citra lembaga ini.
Buruknya Administrasi Pertanahan
Feri Adu mengatakan bahwa kasus tanah di Keranga menggambarkan bagaimana BPN Manggarai Barat gagal menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang seharusnya menjaga ketertiban administrasi pertanahan.
“Pada 2017, sejumlah SHM diterbitkan atas nama individu yang tidak memiliki dasar hukum kuat atas tanah tersebut, tanpa surat perolehan tanah dari pemilik asli atau bukti kepemilikan yang sah. Ini menimbulkan protes dari pemilik tanah yang sah, yang merasa hak mereka dirampas secara sepihak oleh pihak-pihak berkepentingan,” kata Feri Adu
Seperti halnya kasus-kasus lainnya di wilayah Manggarai Barat, kasus Keranga memperlihatkan bahwa penerbitan sertifikat tanah tanpa verifikasi yang memadai telah membuka pintu bagi mafia tanah untuk beraksi. Dengan memanfaatkan celah dalam sistem administrasi pertanahan, pihak-pihak yang tidak berhak dengan mudah memperoleh SHM, mengakibatkan sengketa tanah yang terus berlarut-larut.
Lebih buruk lagi, dugaan keterlibatan BPN dalam praktik curang ini semakin memperkeruh situasi. Banyak yang menduga bahwa BPN bukan hanya lalai, tetapi juga secara aktif terlibat atau dipengaruhi oleh mafia tanah. Hal ini diperparah dengan laporan dari beberapa warga yang mengaku dipaksa untuk menyerahkan tanah mereka setelah sertifikat diterbitkan atas nama pihak lain, meskipun mereka telah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun.
Paralel dengan Dugaan Kasus Mafia Tanah Lainnya
Dijelaskan Feri Adu, Jika kita bandingkan dengan kasus tanah keluarga almarhum Ibrahim Hanta, pola yang sama dapat dilihat. Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan atas nama Maria Fatmawati Naput dan Paulus Grant Naput di atas lahan yang masih dalam sengketa menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas proses penerbitan sertifikat tersebut.
“Tanah yang secara adat telah diakui sebagai milik keluarga Hanta tiba-tiba disertifikasi oleh BPN Manggarai Barat tanpa dasar hukum yang sah,” ungkap Feri
Dalam kasus ini, BPN berkilah bahwa mereka hanya akan melakukan pembatalan setelah ada putusan hukum yang mengikat dari pengadilan. Padahal, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 21 Tahun 2020 memberi kewenangan bagi BPN untuk membatalkan sertifikat yang cacat hukum tanpa harus menunggu putusan pengadilan.
Dengan demikian, ketidakmampuan atau keengganan BPN untuk bertindak menimbulkan dugaan adanya kolusi atau tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk dugaan keterlibatan mafia tanah.
Ketidakadilan yang Terus Berulang
Feri Adu menambahkan, dalam kasus Keranga terkait konflik tanah keluarga Ibrahim Hanta, satu hal yang menjadi benang merah adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
“Warga yang selama ini menjaga dan mengelola tanah warisan mereka tiba-tiba menghadapi kenyataan bahwa tanah tersebut telah disertifikasi atas nama pihak lain tanpa sepengetahuan mereka. Di sisi lain, BPN yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dalam masalah pertanahan justru dianggap sebagai pelaku atau fasilitator dalam penerbitan sertifikat bermasalah,” ungkapnya
Dalam beberapa kasus, warga harus berjuang melalui proses hukum yang panjang dan berliku untuk membatalkan sertifikat yang cacat. Namun, proses ini sering kali memakan waktu bertahun-tahun dan menguras banyak biaya, sementara pihak yang memiliki pengaruh lebih besar mampu menggunakan celah hukum untuk mempertahankan sertifikat yang mereka peroleh dengan cara yang tidak sah.
Sama halnya dengan yang dialami keluarga aibrahim Hanta, kasus Keranga menunjukkan bagaimana mafia tanah beroperasi dengan memanfaatkan kelemahan sistem administrasi pertanahan.
“Kolusi antara oknum di BPN dengan mafia tanah diduga memainkan peran penting dalam perampasan tanah rakyat. Praktik ini tak hanya mencederai hak-hak masyarakat, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang seharusnya melindungi kepentingan mereka,” tegas Feri Adu
Tuntutan untuk Reformasi BPN
Feri menuturkan, dengan munculnya kasus Keranga dan sejumlah sengketa tanah lainnya di Manggarai Barat, semakin jelas bahwa BPN membutuhkan reformasi mendalam.
“Penerbitan sertifikat tanah tanpa alas hak yang sah bukan hanya mencerminkan lemahnya pengawasan internal, tetapi juga menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan. Mafia tanah, yang selama ini beroperasi di balik layar, tampaknya memiliki cengkeraman kuat dalam proses penerbitan sertifikat, dan hal ini harus segera dihentikan,” tururnya
Keluarga Ibrahim Hanta hanyalah sebagian dari sekian banyak korban yang menghadapi ketidakadilan akibat carut-marutnya administrasi pertanahan. Mereka menuntut transparansi dari BPN dan menuntut agar praktik-praktik mafia tanah ini segera diberantas.
Desakan dari keluarga Ibrahim Hanta kepada Menteri ATR/BPN RI, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), untuk mencopot Gatot Suyanto dari jabatannya sebagai Kepala BPN Manggarai Barat menjadi bukti bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinannya.
“Jika BPN terus mengabaikan tuntutan ini, kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut akan semakin terkikis. Sudah saatnya BPN melakukan introspeksi dan memastikan bahwa kasus-kasus seperti di Keranga dan Manggarai Barat tidak lagi terjadi di masa depan. Hanya dengan reformasi yang menyeluruh dan penegakan hukum yang tegas, mafia tanah dapat dibasmi dan hak-hak masyarakat atas tanah mereka dapat terlindungi,” tutupnya