Todo-Pongkor, Asal Mula Sejarah Terbentuknya Kota Ruteng

- Reporter

Kamis, 27 Juni 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Molas Todo – Pongkor

Foto: Rosina Aquaviva

NTTUpdate.com – Menjadi salah satu kota metropolitan terbesar di Manggarai Raya, Todo-Pongkor ternyata memiliki sejarah panjang di balik berdirinya Kota Ruteng sejak masa Kolonialisme Belanda.

Sejarah Kota Ruteng bahkan disebut paling unik di Nusa Tenggara Timur (NTT), karena awal pendiriannya sinkron dengan awal terbentuknya wilayah administrasi kolonialisme Belanda di Manggarai.

Disamping itu juga sangat erat hubungannya dengan usia perlawanan berdarah rakyat Manggarai melawan kolonialisme Belanda.

Mengenai keunikan dan proses perlawanan sehingga terbentuknya Kota Ruteng, kemungkinan banyak yang masih tahu lewat penurunan tradisi sejarah lisan, terlebih yang masih sangat segar beredar di dalam lingkungan keluarga yang pernah terlibat dalam peristiwa bersejarah tersebut.

Tetapi kepastian tahun suatu peristiwa bersejarah tidak terekam secara jelas, karena tradisi lisan sejarah di Manggarai memang hanya mementingkan unsur ceritanya, dan tidak mempunyai kebiasaan budaya dengan perhitungan kalender modern.

Ketidakacuhan tentang penanggalan atau penomoran tahun sangat jelas tercermin dalam kesimpangsiuran mencantumkan angka tahun dalam naskah peserta-peserta dalam “Sayembara Montang Rua” dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1973 di masa Bupati Frans Sales Lega.

Namun secara keseluruhan gaung sayembara ini sangat berhasil menggairahkan kembali “kesadaran harga diri kemanggaraian”.

Todo-Pongkor Sebagai Pusat Pemerintahan 

Sejarah terbentuknya kota Ruteng yang saat ini menjadi ibu kota Kabupaten Manggarai tidak bisa dipisahkan dari sejarah Todo-Pongkor sebagai pusat pemerintahan penguasa Manggarai.

Bagaimanapun menjadi fakta historis yang tidak terbantahkan bahwa seluruh wilayah Manggarai yang saat ini telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten (Kabupaten Manggarai ibu kotanya Ruteng, Kabupaten Manggarai Barat ibu kotanya di Labuan Bajo, pemekaran tahun 2003, dan Kabupaten Manggarai Timur ibu kotanya di Borong, pemekaran tahun 2007).

Ketiga kabupaten ini pada jaman dulu pernah dikendalikan dari Todo-Pongkor, yang saat ini hanya berstatus sebagai desa di wilayah Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Janggur, 2008: 59-60

Todo-Pongkor adalah pusat pemerintahan pada masa pemerintahan dipegang oleh Kraeng Adak Todo-Pongkor yang berkuasa di Manggarai saat itu.

Baca Juga:  Mengintip Profil dan Sepak Terjang Ansy Lema untuk NTT yang Patut Diperhitungkan

Coolhaas, bekas kontrolir Manggarai sebelum Mennes tahun 1926-1927 mempersiapkan pengakuan Belanda pada Zelfsbestuur Manggarai menyebutkan bahwa, hubungan Todo-Pongkor sebagai adik-kakak, walaupun tidak sampai tuntas menjelaskan istilah tersebut melalui penelusuran bukti silsilah.

Juga dijelaskan bahwa Adak Todo-Pongkor sebagai “twee-eenheid van vorsten” raja-raja dwitunggal. Todo sebagai unsur roh magis sedikit lemah lembut, sedikit bersahabat, sedikit menjaga jarak dengan duniawi. Sedangkan Pongkor sebagai unsur badan wadag dengan sifat keras, tegar, kurang tahan diri.

Orang Manggarai menaruh rasa hormat kepada kraeng Todo, tetapi dalam hal perintah tetap orang Manggarai merasa takut kepada kraeng Pongkor.

Kombinasi unsur roh spiritual raja Todo dan elan kuasa dunia fisik Pongkor bagi Coolhaas merupakan sesuatu paduan dwitunggal, sehingga realistis untuk melanggengkan roda pelaksanaan kekuasaan di Manggarai (Toda, 1999: 274-275).

Todo-Pongkor adalah pusat pemerintahan penguasa Manggarai sebelum adanya putusan politik pemerintah koloneal Belanda tentang pemindahan pusat pemerintahan dari Todo-Pongkor ke Puni Ruteng.

Sebagai pusat pemerintahan, terutama dalam hubungan dengan pembangunan berbagai fasilitas umum lainnya diperlukan wilayah yang cukup luas dan letaknya harus strategis.

Kondisi geografis Todo-Pongkor yang terletak di bagian selatan wilayah Manggarai dipandang kurang strategis untuk tetap dipertahankan sebagai pusat pemerintahan, mengingat wilayah Todo-Pongkor saat itu mulai dari Weri Pateng (bagian barat), tanah Wolo dan Watujaji (bagian timur), Laut Flores (bagian utara) dan Laut Sawu (bagian selatan).

Disamping itu kondisi topografi yang sempit dan berbukit, yaitu luas wilayah Todo-Pongkor adalah 2.198 Ha, dengan dataran rendah seluas 190 Ha, tanah dengan kemiringan 300 seluas 650 Ha dan tanah dengan kemiringan lebih dari 300 seluas 1.358 Ha dipandang tidak memungkinkan untuk perluasan kota oleh Belanda di masa-masa mendatang (Janggur, 2008: 70-71).

Kondisi politik dan keamanan Todo-Pongkor pada saat itu, dengan terjadinya Rampas Papang dan Rampas Kuwu (1909) pemerintah koloneal Belanda merasa takut dan tidak aman untuk tetap berada di Todo-Pongkor karena serangan bisa terjadi setiap saat dengan menggunakan taktik gerilya, sehingga Belanda akan kewalahan untuk menghadapinya.

Rasa takut dan tidak aman ini membuat pemerintah Belanda untuk membatalkan pembangunan lanjutan pembangunan perumahan Korps Diplomatik Sipil dan Militer di Todo, dan selanjutnya mengajukan usulan pemindahan pusat pemerintahan.

Baca Juga:  Rumah Niang di Todo dan Sejarah Gendang Kulit Manusia yang Cukup Sakral di Dalamnya

Belanda yang merasa tidak aman merundingkan rencana pemindahan ini dengan Adak Todo-Pongkor (Kraeng Adak Talu Ame Nambur dan Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Manggir) dari Todo-Pongkor ke tempat lain yang lebih aman seperti Melwatar (Lembor), Cancar (Rahong), Mano (Lamba leda selatan), atau Puni-Ruteng (Janggur, 2008: 81.,Toda, 1999: 313-315).

Perpindahan Pusat Pemerintahan ke Ruteng

Di dalam rencana Belanda menetapkan pemindahan resmi wilayah administratif sipil-militer Belanda dari Todo-Pongkor ke Ruteng harus sudah rampung pada tanggal 31 Juli 1909, yaitu bertepatan dengan hari raya Kerajaan Belanda.

Pembangunan rumah-rumah dan perkantoran dilakukan mengejar tanggal legitimatif Belanda tersebut. Pembangunan perkantoran Belanda di Lingko Puni dan rumah Zelfsbestuur Todo-Pongkor di sebelah timur beranda (pa’ang) kampung Gelarang Pau di Lingko Bilas mulai berjalan pesat.

Pembangunan berbagai fasilitas ini dibantu oleh Kraeng Tamur Adak Todo. Pusat pemukiman Perwakilan Adak Todo-Pongkor di Ruteng itu kelak dikenal dengan nama Tulung (Toda, 1999: 316-317., Toda, 1989: 2).

Selain karena putusan politik, Ruteng mempunyai keungulan strategis dibandingkan dengan daerah lainnya yang juga diunggulkan seperti Melwatar (Lembor), Cancar (Rahong) dan Mano (Lamba leda Selatan).

Keunggulan strategis Ruteng dapat dilihat dari luas wilayah, kondisi topografinya, serta ketersediaan sumber mata air yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sebuah pusat pemerintahan yang baru dan pengembangan kota selanjutnya.

Ruteng terletak pada ketinggian 501-1.200 meter di atas permukaan air laut dengan luas wilayah 6.054 Ha. Ruteng terdiri dari dataran rendah seluas 3.006 Ha, dengan kemiringan tanah 30-150 seluas 3.006 Ha, tanah dengan kemiringan lebih dari 160-400 seluas 1.523 Ha, dan tanah dengan kemiringan lebih dari 400 seluas 1.525 Ha (Janggur, 2008: 82-83).

Keunggulan strategis inilah yang merupakan faktor pendukung penetapan Ruteng sebagai pusat pemerintahan menggantikan Todo-Pongkor sebagai pusat pemerintahan sebelumnya.

Hari Jadi Kota Ruteng    

Dari kilasan sejarah yang terungkap, hakekat pendirian Kota Ruteng tidak terlepas dari perlawanan rakyat Manggarai sejak Rampas Papang (Maret 1909), hingga Rampas Kuwu (Agustus 1909), rampas Wetik, Rampas Poka, Rampas Pacar.

Baca Juga:  Mantan Kepsek SMKN 1 Borong Jarang Masuk Sekolah Usai Mengundurkan Diri, Skandal Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung Jadi Sorotan

Rangkaian kesibukan pembangunan kantor (kota) pemerintahan Sipil dan Militer Belanda di atas Lingko Puni Pau (Ruteng) dan pusat pemerintahan kooperatif Todo-Pongkor (yang terdiri dari “generasi anak” Adak Todo-Pongkor; Kraeng Tamu (Todo), Kraeng Bagung (Pongkor).

Berlangsung di Tulung sepanjang bulan Juli 1909 mengejar sasaran tanggal pemindahan definitif oleh Belanda dari Todo ke Lingko Puni Pau Ruteng pada tanggal 31 Juli 1909.

Asas pendirian pusat Puni dan Tulung yang menyalahi pertemuan Borong 1907 menyebabkan Kraeng Guru Ame Numpung (Motang Rua) membayang-bayangi dengan mobilisasi pasukan dari wilayah Nao (Gelarang-Adak Nao belum dilibatkan dalam Rampas papang), Lelak, Ndoso, Rahong, Ruteng, Ndehes, dan pembenahan serta penggalian Benteng Kuwu (Rahong).

Pembangunan kota ternyata menimbulkan pertumpahan darah antara Belanda dengan penduduk setempat sejak 2 Agustus 1909.

Pada tanggal 1 Agstus 1909 adalah tanggal pertama resminya pemindahan administrasi Korps Diplomatik Sipil dan Militer Belanda yang berada di atas Lingko Puni yang melahirkan peristiwa-peristiwa bersejarah selanjutnya. Sehinga pada tanggal 1 Agustus 1909 adalah merupakan hari jadi Kota Ruteng (Toda, 1989: 3).

Secara defakto pemindahan pusat pemerintahan dari Todo-Pongkor ke Puni-Ruteng dilaksanakan sesuai dengan hasil perundingan di Todo antara pemerintah koloneal Belanda dengan Adak Todo-Pongkor yang diwakili oleh Kraeng Adak Talu ame Nambur dan Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Manggir, yaitu tanggal 31 juli 1909.

Namun pembangunan pusat kota administratif (ibu kota baru) di Puni-Ruteng dilakukan setelah kegiatan roda pemerintahan di Puni-Ruteng berjalan (kecuali kantor darurat dan tangsi).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemerintahan di Puni Ruteng baru berjalan sejak tanggal 1 Agustus 1909. Berdasarkan atas dasar itu maka disarankan agar tanggal 1 Agustus 1909 ditetapkan sebagai hari Jadi Kota Ruteng (Janggur, 2008:83., Hemo,1989;2).

Sejarah terbentuknya kota Ruteng ini diangkat dari tulisan I Gusti Ngurah Jayanti, diposting pada, 16 Mei tahun 2012

Oleh Mr. Bill

Label : Sejarah Kota Ruteng

Editor : Carles Marsoni

Berita Terkait

Rumah Niang di Todo dan Sejarah Gendang Kulit Manusia yang Cukup Sakral di Dalamnya
Secara defakto pemindahan pusat pemerintahan dari Todo-Pongkor ke Puni-Ruteng dilaksanakan sesuai dengan hasil perundingan di Todo antara pemerintah koloneal Belanda dengan Adak Todo-Pongkor yang diwakili oleh Kraeng Adak Talu ame Nambur dan Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Manggir, yaitu tanggal 31 juli 1909.

Berita Terkait

Senin, 16 September 2024 - 05:26 WITA

Rumah Niang di Todo dan Sejarah Gendang Kulit Manusia yang Cukup Sakral di Dalamnya

Kamis, 27 Juni 2024 - 07:14 WITA

Todo-Pongkor, Asal Mula Sejarah Terbentuknya Kota Ruteng

Berita Terbaru

Travel

Terus Berbenah, Intip Wajah Baru Natas Labar Kota Ruteng

Jumat, 20 Des 2024 - 11:10 WITA